Jakarta – Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly
menjelaskan diperlukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika untuk mengoptimalkan penanganan peredaran dan penyalahgunaan
narkotika di Indonesia. Hal itu disampaikan Yasonna dalam Rapat Kerja bersama
Komisi III DPR RI, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/3/2022).
Yasonna menyampaikan, narkotika merupakan zat atau
obat yang dapat bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, jika digunakan tidak sesuai dengan
standar pengobatan maka narkotika dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan bagi tubuh manusia.
“Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika telah mengancam keberlangsungan hidup bangsa Indonesia,
terutama mengancam generasi muda,” kata Yasonna, membacakan surat penjelasan
Presiden atas RUU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, di hadapan Komisi III DPR RI.
Guru Besar Ilmu Kriminologi di Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (PTIK) itu mengungkapkan, saat ini semakin meningkat jumlah
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Dengan
mempertimbangkan kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum, serta kapasitas
lembaga pemasyarakatan, Pemerintah mengutamakan penguatan pencegahan dalam
menangani penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
“Upaya pencegahan dilakukan secara integral dan
dinamis antara aparat penegak hukum dengan masyarakat,” ungkapnya.
Selain upaya penguatan pencegahan, kata Yasonna,
upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika juga diperkuat agar tujuan bernegara dalam melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dapat terlaksana dengan maksimal.
Upaya ini sangat diperlukan mengingat tren perkembangan penyalahgunaan
narkotika dan prekursor narkotika masih tinggi.
“Hal tersebut merupakan salah satu alasan untuk
melakukan revisi terhadap UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” ujar
Yasonna.
Di sisi lain, terdapat perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat yang perlu menjadi perhatian, terkait dengan pengaturan
mengenai pecandu narkotika.
Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dalam pelaksanaannya belum memberikan konsepsi yang jelas tentang
pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika.
Perlakuan yang sama antara pecandu narkotika,
penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika dengan bandar
ataupun pengedar narkotika, menimbulkan ketidakadilan dalam penanganannya.
“Seharusnya, penanganan terhadap pecandu
narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika
difokuskan pada upaya rehabilitasi melalui mekanisme asesmen yang komprehensif
dan dapat dipertanggungjawabkan,” tutur Yasonna.
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan
DPP PDI Perjuangan itu melanjutkan, asesmen dilakukan Tim Asesmen Terpadu yang
berisikan unsur medis (dokter, psikolog, psikiater), dan unsur hukum (penyidik,
penuntut umum, dan pembimbing kemasyarakatan).
Tim Asesmen Terpadu akan mengeluarkan rekomendasi
pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika
akan direhabilitasi atau tidak.
“Dengan menggunakan pendekatan rehabilitasi
dibandingkan pidana merupakan bentuk restorative justice yaitu salah satu upaya
pendekatan penyelesaian perkara pidana yang lebih menekankan pemulihan kembali
keadaan korban ke keadaan semula dengan melibatkan berbagai pihak,” ucap
Yasonna.
Konsep restorative justice menekankan ukuran
keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku
(baik secara fisik, psikis, atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu
disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku
untuk bertanggung-jawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila
diperlukan. Menurut Yasonna, kebijakan untuk lebih mengedepankan upaya
rehabilitasi ini sejalan dengan upaya untuk mengurangi over kapasitas lembaga
pemasyarakatan.
Adapun beberapa ketentuan yang diatur dalam RUU
tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, antara
lain, zat psikoaktif baru, penyempuraan terhadap ketentuan mengenai Rehabilitasi,
tim asesmen terpadu, penyidik BNN serta kewenangannya, syarat dan tata cara
pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu serta penetapan
status barang sitaan, dan penyempurnaan ketentuan pidana.
#HBP58
#KumhamSemakinPASTI
#Ditjenpas
#Pemasyarakatan
#RupMokerPrima
#WBKPasti
#menpanrb
#rupbasan
#rupbasanmojokerto
#jatimpastihebat
@kemenkumhamri
@Ditjenpas
@kumhamjatim
@sipp_menpan
@anugerahasn_menpan
@diary_kemenkumham
@rbkunwas
0 komentar:
Posting Komentar