Kegiatan diskusi diisi oleh berbagai pemaparan dari Kementerian Hukum dan HAM yaitu Cahyo Rahadian Muzhar (Dirjen AHU), Baroto (Direktur Tata Negara) dan Pramella Yunidar Pasaribu (Direktur Izin Tinggal Keimigrasian).
“Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2022 (PP 21), menunjukkan Pemerintah berkomitmen memperkuat sistem perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan diaspora Indonesia di luar negeri”. Demikian disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam pidato pembuka yang mengawali kegiatan forum diskusi konsuler seri ketiga tersebut.
Animo masyarakat dan diaspora Indonesia terlihat tinggi terhadap program bincang konsuler kali ini. Lebih dari 300 masyarakat dan diaspora Indonesia hadir baik secara langsung maupun virtual. Segmentasi peserta yang hadir sangat beragam dari berbagai kalangan, mulai pelajar, akademisi, komunitas lintas profesi, praktisi hukum, pebisnis, hingga secara virtual dihadiri oleh berbagai Perwakilan Indonesia di luar negeri, serta masyarakat dan diaspora Indonesia dari berbagai wilayah dan kawasan di dunia baik Asia, Timur Tengah, Afrika, Eropa hingga Amerika.
Pada kesempatan tersebut, Yasonna Laoly, menegaskan PP 21 diberlakukan sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah Indonesia terutama dalam memberikan perlindungan kewarganegaraan bagi anak-anak hasil kawin campur antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA). Peraturan yang diundangkan 31 Mei lalu itu memungkinkan bagi anak-anak untuk dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui permohonan yang diajukan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.
PP 21 merupakan perubahan atas PP No. 2 Tahun
2007 tentang Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia. PP perubahan tersebut dibentuk sebagai
langkah terobosan hukum untuk menjawab berbagai perkembangan terbaru terkait
kewarganegaraan serta mengatur mekanisme bagaimana seorang anak yang lahir dari
perkawinan sah campuran yang bermasalah dalam kewarganegaraannya, untuk menjadi
WNI kembali, yang tidak diatur baik dalam PP No. 2 Tahun 2007 bahkan UU No. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI (UU Kewarganegaraan).
Isu Dwikewarganegaraan dan Kehilangan
Kewarganegaraan Menjadi Sorotan
Pada sesi presentasi dan diskusi, dijelaskan oleh
para narasumber mengenai pentingnya status kewarganegaraan bagi setiap orang
untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pemberian kewarganegaraan
Indonesia. Melalui PP 21, anak yang dilahirkan dari kedua orang tua WNI dan
WNA, yang berusia maksimal 30 tahun, yang mengalami kendala atau masalah dalam
kewarganegarannya, dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia serta
dimungkinkan memiliki dwikewarganegaraan secara terbatas sesuai UU
Kewarganegaraan terutama bagi anak yang lahir di negara Ius Soli (penentuan
kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran), seperti Amerika Serikat.
Dirjen AHU, Cahyo Rahadian Muzhar, dalam
paparannya menjelaskan pada prinsipnya bahwa PP 21 adalah guna melindungi
hak-hak bagi anak yang lahir sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan yang tidak
didaftarkan dan anak yang lahir sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan yang
telah didaftarkan namun tidak memilih kewarganegaraan Indonesia hingga batas
waktu yang ditentukan berakhir.
Dijelaskan lebih lanjut, PP 21 juga
menyempurnakan teknis tata cara pelaporan kehilangan dan memperoleh kembali
kewarganegaraan Indonesia bagi WNI. “Aturan terbaru ini bahkan memperkuat basis
data yang mengatur mekanisme pemerolehan dan permohonan akses kewarganegaraan
secara elektronik dan terintegrasi antara instansi pemerintah di tingkat
pusat”, ujar Cahyo.
PP 21 juga memberikan kemudahan khususnya dalam
hal prosedur permohonan bagi anak-anak diaspora Indonesia untuk memperoleh
kewarganegaraan Indonesia. Misalnya, anak-anak yang tidak memiliki persyaratan
surat keterangan keimigrasian (ITAP/ITAS) sepanjang melampirkan biodata
penduduk yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tetap dapat
memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Selain itu, anak-anak yang belum memiliki
pekerjaan dan/atau penghasilan sebagaimana dipersyaratkan, masih dapat
memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan cara mengajukan permohonan yang
dapat diwakilkan oleh orang tuanya sebagai penjamin.
Isu kehilangan kewarganegaraan juga kerap menjadi
sorotan. Anak-anak dari perkawinan campuran antara warga lintas negara yang
memiliki dwikewarganegaraan tidak jarang malah mengalami kehilangan
kewarganegaraannya terutama ketika ia atau orang tuanya telat memilih
kewarganegaraan ketika beranjak usia 18 tahun atau selambat-lambatnya 21 tahun
menurut UU Kewarganegaraan.
Berdasarkan basis data kewarganegaraan yang
dimiliki Kementerian Hukum dan HAM, terdapat sekitar 13.092 anak perkawinan
campuran yang telah terdaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda berdasarkan
Pasal 41 UU Kewarganegaraan. Di antara jumlah itu, sebanyak 3793 anak tercatat
tidak atau terlambat memilih salah satu kewarganegaraannya kepada Menteri Hukum
dan HAM. Sementara tidak kurang 507 anak yang tidak didaftarkan berdasarkan
Pasal 41 sebagai anak berkewarganegaraan ganda.
Dengan demikian, adanya PP 21 dapat
mengakomodir anak yang memiliki permasalahan kewarganegaraan, dengan memberikan
kesempatan kembali kepada mereka untuk memperoleh status kewarganegaraan
Indonesia dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dari waktu PP 21 diundangkan sampai
dengan 31 Mei 2024.
Penyempurnaan hukum seperti melalui PP 21 ini
sejalan dengan berbagai upaya perbaikan iklim kondusif negara untuk menarik
berbagai pihak datang ke Indonesia guna memberikan kontribusi positifnya bagi
pembangunan nasional. PP 21 diharapkan mendorong para diaspora Indonesia
termasuk anak Indonesia yang terampil dan tentunya memiliki rasa cinta yang
besar dan ingin berkontribusi terhadap Indonesia.
Kebijakan yang diatur dalam PP 21 sejalan pula
dengan desain besar berbagai kebijakan lainnya dalam mendorong upaya pemulihan
ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19, termasuk mempermudah layanan
keimigrasian, kebijakan visa dan penyederhanaan perizinan tinggal yang mencakup
peruntukan jenis kegiatan yang jauh lebih luas dan lebih beragam. Hal tersebut
diharapkan dapat semakin mendorong investor (termasuk investor dari diaspora
Indonesia) untuk berinvestasi, memiliki properti sesuai ketentuan, atau
menghabiskan masa tuanya di Indonesia.
Konsul Jenderal KJRI San Francisco, Prasetyo
Hadi, menyampaikan bahwa inisiasi program Consular Talk semacam ini sangat
diperlukan untuk memfasilitasi pembahasan dan pertukaran informasi yang
mendalam, baik dari segi aturan maupun berbagai permasalahan kekonsuleran yang
dialami di lapangan, sekaligus sebagai sarana memberikan pencerahan kepada
masyarakat luas mengenai perkembangan hukum dan kebijakan terbaru Pemerintah
dalam kewarganegaraan dan keimigrasian.
“Seperti program Consular Talk yang pertama dan
kedua, program kali ini juga diharapkan dapat memfasilitasi pembahasan yang
mendalam dan sosialisasi pada WNI dan diaspora Indonesia, sekaligus kepada
pelaksana Fungsi Kekonsuleran di seluruh Perwakilan Indonesia di dunia”,
tambahnya.
Program serupa akan terus digaungkan KJRI San
Francisco dalam rangka memberikan kontribusi pada upaya pelayanan kekonsuleran
yang prima, penguatan perlindungan dan pembinaan warga, serta perluasan kerja
sama di bidang diplomasi ekonomi dan sosial budaya yang menjadi bagian penting
dari prioritas politik luar negeri Indonesia.
San Francisco, 26 Juni 2022
Mahmudin Nur Al-Gozaly
Konsul Penerangan Sosial Budaya
KJRI San Francisco
@kemenkumhamri
@Ditjenpas
@kumhamjatim
@sipp_menpan
@anugerahasn_menpan
@diary_kemenkumham
@rbkunwas
0 komentar:
Posting Komentar