Jakarta – Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) telah disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan ini dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU
KUHP, Selasa (06/12/2022).
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan pengesahan ini
merupakan momen bersejarah di Indonesia dalam penyelenggaraan hukum
pidana. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk kolonial Belanda,
saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri.
“Alhamdulillah, Puji Tuhan kita patut berbangga karena telah berhasil memiliki
KUHP sendiri, hasil pemikiran anak bangsa. Masa berlakunya KUHP Belanda di
Indonesia sejak tahun 1918, jika dihitung sampai saat ini, sudah 104 tahun.
Indonesia sendiri telah merumuskan pembaharuan hukum pidana sejak 1963. Ini
prestasi besar kita semua!” ujar Yasonna usai rapat paripurna DPR RI.
Menurut Yasonna, KUHP produk Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi
dengan kondisi, perkembangan situasi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia
saat ini. Hal inilah yang menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP.
“KUHP produk Belanda tidak relevan lagi dengan kondisi terkini Indonesia.
Sementara RUU KUHP sudah sangat reformatif, progresif, juga responsif dengan
situasi di Indonesia,” katanya.
Yasonna menjelaskan bahwa RUU KUHP yang baru saja disahkan telah melalui
pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif. Pemerintah dan DPR telah
mengakomodasi berbagai masukan, ide dan gagasan dari masyarakat luas.
“RUU KUHP telah disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan di seluruh
penjuru Indonesia. Saya atas nama Pemerintah Republik Indonesia dan Rekan-
Rekan DPR RI, dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada seluruh
masyarakat atas partisipasi dan dukungannya dalam momen bersejarah ini,” ujar
Menteri Yasonna.
Meskipun demikian, Yasonna mengakui perjalanan penyusunan RUU KUHP tidak
berjalan mulus. Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal
yang dianggap kontroversial, di antaranya pasal penghinaan Presiden, pidana
kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran terlarang
komunis. Namun, Yasonna meyakinkan masyarakat bahwa pasal-pasal dimaksud
telah melalui kajian akademis yang berulang dan komprehensif.
Selanjutnya Yasonna menghimbau bagi pihak-pihak yang tidak sependapat
dengan beberapa substansi di dalam KUHP yang baru ini, dapat
menyampaikannya melalui mekanisme pengajuan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi (MK) disertai alasan yang reasonable.
“RUU KUHP mungkin saja tidak disetujui 100 persen. Apabila masih ada para
pihak yang tidak sependapat, silakan mengajukan gugatan ke MK,” tegasnya.
Perluasan Jenis Pidana Kepada Pelaku Tindak Pidana
Menteri Yasonna selanjutnya menjelaskan bahwa pengesahan RUU KUHP tidak
sekedar menjadi momen historis bagi bangsa Indonesia. RUU KUHP menjadi titik
awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-
jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Yasonna menjelaskan terdapat tiga pidana yang diatur di dalamnya, yaitu pidana pokok,
pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus.
Dalam pidana pokok, RUU KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda
saja, tetapi menambahkan pidana , pidana pengawasan, serta pidana kerja sosial.
“Perbedaan yang mendasar, RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana mati
sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang diancamkan secara
alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan sepuluh tahun,” tutur Yasonna.
Selain pidana mati, pidana penjara juga direformasi dengan mengatur pedoman
mengenai keadaan tertentu agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana
penjara terhadap pelaku tindak pidana. Keadaan-keadaan tersebut antara lain,
jika terdakwa adalah anak, baru pertama kali melakukan tindak pidana, termasuk
terdakwa telah berusia diatas 75 tahun, dan beberapa keadaan lainnya.
“Meskipun demikian, diatur pula ketentuan mengenai pengecualian keadaan-
keadaan tertentu. Yaitu terhadap pidana yang diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau lebih, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum
khusus, atau tindak pidana yang merugikan masyarakat, serta merugikan
perekonomian negara,” katanya.
Selanjutnya, pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa
pencabutan hak tertentu, perampasan barang, pengumuman putusan Hakim,
pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, dan pemenuhan kewajiban adat
setempat.
Pelaku tindak pidana dapat pula dijatuhi Tindakan, sebagai perwujudan nyata
dari diterapkannya double track system dalam pemidanaan Indonesia.
Contohnya, RUU KUHP mengatur Tindakan apa yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok dan Tindakan yang dapat dikenakan kepada seseorang dengan
disabilitas mental atau intelektual.
Terakhir, di dalam UU KUHP mengatur juga badan hukum atau korporasi sebagai
pihak yang dapat bertanggung jawab dan dapat dipidana. Penjatuhan pidana
pokok, pidana tambahan, dan Tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-
orang yang terlibat dalam korporasi tersebut, baik pengurus yang memiliki
kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, hingga pemilik
manfaat.
#KumhamSemakinPASTI
#Ditjenpas
#Yasonna
#Pemasyarakatan
#RupMokerPrima
#WBKPasti
#menpanrb
#KemenkumhamJatim
#AnakAgungGdeKrisna
#TeguhWibowo
#rupbasanmojokerto
#jatimpastihebat
@kemenkumhamri
@Ditjenpas
@kumhamjatim
@sipp_menpan
@anugerahasn_menpan
@diary_kemenkumham
@rbkunwas
0 komentar:
Posting Komentar