Jakarta, 07 September 2024 – Direktur Jenderal Hak
Asasi Manusia, Dhahana Putra, menegaskan komitmennya terhadap penerapan
"living law" dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru.
Penerapan "living law" dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP)
Baru., sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat yg masih
hidup sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan negara Repubik
Indonesia (Pasal 18B ayat 2 UUD 1945).
Hukum yang hidup dalam masyarakat itu hanya
berlaku jika tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, HAM,
hak asasi manusia dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Sehingga keberlakuan Hukum yang Hidup dibatasi oleh ruang (tempat), konstitusi,
nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia dan UU KUHP itu sendiri.
Dhahana Putra menjelaskan bahwa penerapan living
law bertujuan untuk memastikan norma-norma hukum tetap relevan dengan
nilai-nilai sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat, termasuk hukum
adat yang berlaku. "Living law mencakup bukan hanya hukum positif, tetapi
juga hukum adat yang telah lama berlaku dalam komunitas kita. Pendekatan ini
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap
aturan hukum yang integratif," ujar Dhahana.
Lebih lanjut, Dhahana menekankan bahwa pengaturan
hukuman dan sanksi dalam KUHP Baru kini dirancang untuk mencerminkan prinsip
keadilan yang lebih humanis dan rehabilitatif. Ini termasuk mempertimbangkan
konteks sosial pelanggaran dan memberikan peluang untuk reintegrasi sosial.
Proses pembentukan KUHP Baru melibatkan
partisipasi publik melalui dialog terbuka dengan berbagai pemangku kepentingan,
termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum, untuk memastikan
bahwa berbagai perspektif dan kebutuhan masyarakat, termasuk nilai-nilai hukum
adat, tercermin dalam pembentukan undang-undang.
0 komentar:
Posting Komentar